Pengertian Manajemen Laba
Copeland (1968 :10) dalam Utami (2005) mendefinisikan
manajemen laba sebagai, “some ability to increase or decrease reported net
income at will”. Ini berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk
memaksimumkan atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai dengan
keinginan manajer. Scott (2000) dalam Rahmawati dkk. (2006) membagi cara
pemahaman atas manajemen laba menjadi dua.
Pertama,
melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan
utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan political
costs (opportunistic earnings management).
Kedua,
dengan memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting
(efficient earnings management), dimana manajemen laba memberi manajer suatu
fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam mengantisipasi
kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak. Dengan demikian, manajer dapat mempengaruhi nilai pasar
perusahaannya melalui manajemen laba, misalnya dengan membuat perataan laba
(income smoothing) dan pertumbuhan laba sepanjang waktu.
Pengertian Manajemen Laba menurut
ahli
Pengertian
manajemen laba menurut Schipper (1989) dalam Rahmawati dkk. (2006) yang
menyatakan bahwa manajemen laba merupakan suatu intervensi dengan tujuan
tertentu dalam proses pelaporan keuangan eksternal, untuk memperoleh beberapa
keuntungan privat (sebagai lawan untuk memudahkan operasi yang netral dari proses
tersebut).
Pengertian
manajemen laba menurut Assih dan Gudono (2000) manajemen laba adalah suatu
proses yang dilakukan dengan sengaja dalam batasan General Addopted Accounting
Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan.
Pengertian
manajemen laba menurut Fischer dan Rozenzwig (1995) manajemen laba adalah
tindakan manajer yang menaikkan (menurunkan) laba yang dilaporkan dari unit
yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan
atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang.
Pengertian
manajemen laba menurut Healy dan Wallen (1999) manajemen laba terjadi ketika
manajer menggunakan judgement dalam laporan keuangan dan penyusunan transaksi
untuk mengubah laporan keuangan, sehingga menyesatkan stakeholders tentang
kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil yang berhubungan
dengan kontrak yang tergantung pada angka akuntansi.
Manajemen
laba adalah campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal dengan
tujuan untuk menguntungkan diri sendiri. Manajemen laba adalah salah satu
faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan, manajemen laba
menambah bias dalam laporan keuangan dan dapat mengganggu pemakai laporan
keuangan yang mempercayai angka laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba
tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000 dalam Rahmawati dkk, 2006).
Manajemen
laba merupakan area yang kontroversial dan penting dalam akuntansi keuangan.
Manajemen laba tidak selalu diartikan sebagai suatu upaya negatif yang
merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi
laba. Manajemen laba tidak selalu dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi
data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan
metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan
tertentu dalam batasan GAAP. Pihak-pihak yang kontra terhadap manajemen laba,
menganggap bahwa manajemen laba merupakan pengurangan dalam keandalan informasi
yang cukup akurat mengenai laba untuk mengevaluasi return dan resiko
portofolionya (Ashari dkk, 1994 dalam Assih, 2004).
·
Faktor-faktor pendorong manajemen laba
Dalam
Positif Accounting Theory terdapat tiga faktor pendorong yang melatarbelakangi
terjadinya manajemen laba (Watt dan Zimmerman, 1986), yaitu:
1. Bonus
Plan Hypothesis
Manajemen
akan memilih metode akuntansi yang memaksimalkan utilitasnya yaitu bonus yang
tinggi. Manajer perusahaan yang memberikan bonus besar berdasarkan laba lebih
banyak menggunakan metode akuntansi yang meningkatkan laba yang dilaporkan.
2. Debt
Covenant Hypothesis
Manajer
perusahaan yang melakukan pelanggaran perjanjian kredit cenderung memilih
metode akuntansi yang memiliki dampak meningkatkan laba (Sweeney, 1994 dalam
Rahmawati dkk, (2006). Hal ini untuk menjaga reputasi mereka dalam pandangan
pihak eksternal.
3. Political
Cost Hypothesis
Semakin
besar perusahaan, semakin besar pula kemungkinan perusahaan tersebut memilih
metode akuntansi yang menurunkan laba. Hal tersebut dikarenakan dengan laba
yang tinggi pemerintah akan segera mengambil tindakan, misalnya: mengenakan
peraturan antitrust, menaikkan pajak pendapatan perusahaan, dan lain-lain.
Referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar