Definisi
Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate
Social Responsibility (CSR) merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia
usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan
ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersaman dengan
peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya (Wibisono, 2007, h.7).
Terdapat beberapa definisi lain mengenai CSR sebagaimana dipaparkan oleh
Christine A Hemingway& Patrick W Maclagan dalam Journal of Business Ethics (2004,
h. 33-44).
a. Corporate
Social Responsibility requires companies to acknowledge that they should be
publicy accountable not only for their financial performance but also for their
social and environmental record. More widely, CSR encompasses the extent to
which companies should promote human rights, democracy, community improvement
and sustainable development objectives throught the world. (The Confederation
of British Industry)
b. Identifies
four components that need to be present in order for a business to claim it is
socially responsible; economic, legal, ethical, philatrophic responsibilities
(Caroll)
c. Corporate
social responsibility refers to managements inligation to set policies, make
decisions and follow courses of action beyond the requirements of the law that
desirable in terms of the values and objectives of society (Moseley)
d. Corporate
social responsibility may be viewed as a process in which managers take
responsibility for identifying and accomodating the interest of those affected
by the organizations actions (Maclagan)
e. Socially
responsible actions by a corporation are actions that; when judged by society
in the future, are seen to have been of maximum help in providing necesssary
amounts of desired goods and services at minimum financial and social cost,
distributed as equability as possible (Farmer)
Dari
sekian banyak definisi CSR, salah satu yang menggambarkan CSR di Indonesia
adalah definisi Suharto (2006) yang menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis
yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara
finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara
holistik, melembaga dan berkelanjutan. Dari definisi tersebut, dapat kita lihat
bahwa salah satu aspek yang dalam pelaksanaan CSR adalah komitmen berkelanjutan
dalam mensejahterakan komunitas lokal masyarakat sekitar.
Terkait
dengan area tanggungjawab sosial perusahaan, Organization Economic Cooperation
and Development (OECD) dalam Wibisono (2007, hal 42) menyepakati pedoman bagi
perusahaan multinasional dalam melaksanakan CSR. Pedoman tersebut berisi
kebijakan umum, meliputi:
1. Memberikan
kontribusi untuk kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan berdasarkan pandangan
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,
2. Menghormati
hak-hak asasi manusia yang dipengaruhi kegiatan yang dijalankan perusahaan
tersebut sejalan dengan kewajiban dan komitmen pemerintah di negara tempat
perusahaan beroperasi,
3. Mendorong
pembangunan kapasitas lokal melalui kerja sama yang erat dengan komunitas
lokal, termasuk kepentingan bisnis, selain mengembangkan kegiatan perusahaan di
pasar dalam dan luar negeri sejalan dengan kebutuhan praktik perdagangan,
4. Mendorong
pembentukan human capital, khususnya melalui penciptaan kesempatan kerja dan
memfasilitasi pelatihan bagi para karyawan,
5. Menahan
diri untuk tidak mencari atau menerima pembebasan di luar yang dibenarkan
secara hukum yang terkait dengan sosial lingkungan, kesehatan dan keselamatan
kerja, perburuhan, perpajakan, insentif finansial, dan isu-isu lain,
6. Mendorong
dan memegang teguh prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) serta
mengembangkan dan menerapkan praktik-praktik tata kelola perusahaan yang baik,
7. Mengembangkan
dan menerapkan praktik-praktik sistem manajemen yang mengatur diri sendiri
secara efektif guna menumbuhkembangkan relasi saling percaya diantara
perusahaan dan masyarakat tempat perusahaan beroperasi,
8. Mendorong
kesadaran pekerja yang sejalan dengan kebijakan perusahaan melalui
penyebarluasan informasi tentang kebijakan-kebijakan itu pada pekerja termasuk
melalui program-program pelatihan,
9. Menahan
diri untuk tidak melakukan tindakan tebang pilih (diskriminatif) dan
indispliner,
10. Mengembangkan
mitra bisnis, termasuk para pemasok dan subkontraktor, untuk menerapkan aturan
perusahaan yang sejalan dengan pedoman tersebut,
11. Bersikap
abstain terhadap semua keterlibatan yang tak sepatutnya dalam kegiatan-kegiatan
politik lokal.
Manfaat CSR
Terdapat
manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan tanggunggjawab sosial perusahaan, baik
bagi perusahaan sendiri, bagi masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan
lainnya. Wibisono (2007, hal 99) menguraikan manfaat yang akan diterima dari
pelaksanaan CSR, diantaranya:
1. Bagi
Perusahaan. Terdapat empat manfaat yang diperoleh perusahaan dengan
mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan
berkelanjutan dan perusahaan mendapatkan citra yang positif dari masyarakat
luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap modal (capital).
Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia (human resources)
yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan
pada hal-hal yang kritis (critical decision making) dan mempermudah pengelolaan
manajemen risiko (risk management),
2. Bagi
masyarakat, praktik CSR yang baik akan meningkatkan nilai-tambah adanya
perusahaan di suatu daerah karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
kualitas sosial di daerah tersebut. Pekerja lokal yang diserap akan mendapatkan
perlindungan akan hak-haknya sebagai pekerja. Jika terdapat masyarakat adat
atau masyarakat lokal, praktek CSR akan mengharagai keberadaan tradisi dan
budaya lokal tersebut,
3. Bagi
lingkungan, praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya
alam, menjaga kualitas lingkungan dengan menekan tingkat polusi dan justru
perusahaan terlibat mempengaruhi lingkungannnya,
4. Bagi
negara, praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut “corporate
misconduct” atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada aparat negara
atau aparat hukum yang memicu tingginya
korupsi. Selain itu, negara akan menikmati pendapatan dari pajak yang wajar
(yang tidak digelapkan) oleh perusahaan.
Dalam
penelitian ini, terkait kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah,
diharapkan kedua belah pihak mendapatkan manfaat dari tanggungjawab sosial yang
dilakukan oleh perusahaan. Bagi perusahaan akan lebih mudah memperoleh akses
terhadap modal (capital), dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal
yang kritis (critical decision making), dan mempermudah pengelolaan manajemen
risiko (risk management). Pemerintah mendapatkan keuntungan berupa adanya
partisipasi pihak perusahaan dalam mendukung program-program pemerintah, dalam
hal peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Motif CSR
Selain
manfaat yang telah diuraikan sebelumnya, tidak ada satu perusahaan pun yang
menjalankan CSR tanpa memiliki motivasi. Karena bagimanapun tujuan perusahaan
melaksanakan CSR terkait erat dengan motivasi yang dimiliki. Wibisono (2007,
hal 78) menyatakan bahwa sulit untuk menentukan benefit perusahaan yang
menerapkan CSR, karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa bila perusahaan yang
telah mengimplementasikan CSR dengan baik akan mendapat kepastian benefit-nya.
Oleh karena itu terdapat beberapa motif dilaksanakanya CSR, diantaranya:
1. Mempertahankan
dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan. Perbuatan destruktif akan
menurunkan reputasi perusahaan. Begitupun sebaliknya, konstribusi positif akan
mendongkrak reputasi perusahaan. Inilah yang menjadi modal non-financial utama
bagi perusahaan dan bagi stakeholdes-nya yang menjadi nilai tambah bagi
perusahaan untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.
2. Layak
mendapatkan social licence to operate. Masyarakat sekitar perusahaan merupakan
komunitas utama perusahaan. Ketika mereka mendapatkan benefit dari keberadaan
perusahaan, maka pasti dengan sendirinya mereka ikut merasa memiliki
perusahaan. Sebagai imbalan yang diberikan ke perusahaan paling tidak adalah
keleluasaan perusahaan untuk menjalankan roda bisnisnya di wilayah tersebut.
Jadi program CSR diharapkan menjadi bagian dari asuransi sosial (social
insurance) yang akan menghasilkan harmoni dan persepsi positif dari masyarakat
terhadap eksistensi perusahaan.
3. Mereduksi
risiko bisnis perusahaan. Perusahaan mesti menyadari bahwa kegagalan untuk
memenuhi ekspektasi stakeholders akan menjadi bom waktu yang dapat memicu
risiko yang tidak diharapkan. Bila itu terjadi, maka disamping menanggung
opportunity loss, perusahaan juga harus mengeluarkan biaya yang mungkin
berlipat besarnya dibandingkan biaya untuk mengimplementasikan CSR.
4. Melebarkan
akses sumber daya. Track record yang baik dalam pengelolaan CSR merupakan
keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk memuluskan jalan
menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.
5. Membentangkan
akses menuju market. Investasi yang ditanamkan untuk program CSR ini dapat
menjadi tiket bagi perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar. Termasuk
didalamnya akan memupuk loyalitas konsumen dan menembus pangsa pasar baru.
6. Mereduksi
biaya. Banyak contoh yang dapat menggambarkan keuntungan perusahaan yang
didapat dari penghematan biaya yang merupakan buah dari implementasi dari
penerapan program tanggung jawab sosialnya. Contohnya adalah upaya untuk
mereduksi limbah melalui proses recycle atau daur ulang kedalam siklus
produksi.
7. Memperbaiki
hubungan dengan stakeholders. Implementasi program CSR tentunya akan menambah
frekuensi komunikasi dengan stakeholders. Nuansa seperti itu dapat membentangkan
karpet merah bagi terbentuknya trust kepada perusahaan.
8. Memperbaiki
hubungan dengan regulator. Perusahaan yang menerapkan program CSR pada dasarnya
merupakan upaya untuk meringankan beban pemerintah sebagai regulator. Sebab
pemerintahlah yang menjadi penanggungjawab utama untuk mensejahterakan
masyarakat dan melestarikan lingkungan. Tanpa bantuan dari perusahaan, umumnya
terlalu berat bagi pemerintah untuk menanggung beban tersebut.
9. Meningkatkan
semangat dan produktivitas karyawan. Kesejahteraan yang diberikan para pelaku
CSR umumnya sudah jauh melebihi standar normatif kewajiban yang dibebankan
kepada perusahaan. Oleh karenanya wajar bila karyawan menjadi terpacu untuk
meningkatkan kinerjanya.
10. Peluang
mendapatkan penghargaan. Banyak reward ditawarkan bagi penggiat CSR, sehingga
kesempatan untuk mendapatkan penghargaan mempunyai kesempatan yang cukup
tinggi.
Salah
satu motif perusahaan dalam melaksanakan CSR dan menjadi bagian penting adalah
menjalin hubungan yang baik dengan regulator. Perusahaan berdiri berdasarkan
izin yang diberikan pemerintah, dan diharapkan mampu berkontribusi dalam pembangunan
melalui pembayaran kewajiban berupa pajak dan lainnya, juga secara sadar turut
membangun kepedulian terhadap meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan
lingkungan.
Keterlibatan
perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi dengan beberapa kepentingan.
Menurut Mulyadi (2003, hal 4) setidaknya bisa diidentifikasi tiga motif
keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas produksi,
motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan
pelayanan sosial pada masyarakat lokal.
Pada
umumnya perusahaan di Indonesia menjalankan CSR atas dasar memenuhi kewajiban
kontraktual, dalam hal ini mematuhi peraturan baik yang dibuat oleh pemerintah
pusat maupun daerah. Secara normatif, idealnya tanpa adanya protes dan
kewajiban kontraktual, perusahaan seharusnya berusaha memberdayakan masyarakat
lokal dan meningkatkan kesejahteraan. Ide mengenai konsep CSR juga dilandasi
pemikiran demikian (UN Global Compact, hal. 20). Secara filantropis perusahaan
seharusnya mendistribusikan keuntungan setelah mereka memanfaatkan resources di
lokasi dimana masyarakat berada. Hal ini adalah kewajiban moral, namun motif
yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum
terlihat nyata. Mulyadi dalam tulisan yang berjudul Pengelolaan Program
Corporate Social Responsibilty: Pendekatan, Keberpihakan, dan Keberlanjutannya
(2003, hal.5). Membagi stakeholders berdasarkan kepentingannya.
Dalam
konteks hubungan kemitraan antara pemerintah dengan perusahaan, pemerintah
daerah mengharapkan agar program-program CSR bisa membantu menyelesaikan
permasalahan sosial, seperti masalah pengangguran, kemiskinan, masalah
pendidikan, kesehatan, perumahan. Selain itu menyelesaikan masalah lingkungan
yang dihadapi pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan swasta
dituntut untuk membantu pemerintah daerah untuk mendukung program pembangunan
regional yang diimplementasikannya.
Pemerintah
yang menjadi penanggungjawab utama dalam mensejahterakan masyarakat dan
melestarikan lingkungan tidak akan menanggung beban tersebut jika dilakukan
sendiri, melainkan membutuhkan partisipasi, salah satunya yang paling potensial
adalah dari perusahaan, agar akselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat bisa tercapai.
Setiap
perusahaan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap CSR, dan cara pandang
inilah yang bisa dijadikan indikator kesungguhan perusahaan tersebut dalam
melaksanakan CSR atau hanya sekedar membuat pencitraan di masyarakat.
Setidaknya terdapat tiga kategori paradigma perusahaan dalam menerapkan program
CSR menurut Wibisono (2007, hal.73), diantaranya:
Pertama,
Sekedar basa basi dan keterpaksaan, artinya CSR dipraktekkan lebih karena
faktor eksternal, baik karena mengendalikan aspek sosial (social driven) maupun
mengendalikan aspek lingkungan (environmental driven). Artinya pemenuhan
tanggungjawab sosial lebih karena keterpaksaan akibat tuntutan daripada
kesukarelaan. Berikutnya adalah mengendalikan reputasi (reputation driven),
yaitu motivasi pelaksanaan CSR untuk mendongkrak citra perusahaan. Banyak
korporasi yang sengaja berupaya mendongkrak citra dengan mamanfaatkan peristiwa
bencana alam seperti memberi bantuan uang, sembako, medis dan sebagainya, yang
kemudian perusahaan berlomba menginformasikan kontribusinya melalui media massa.
Tujuannya adalah untuk mengangkat reputasi.
Kedua,
Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance). CSR diimplementasikan
karena memang ada regulasi, hukum dan aturan yang memaksanya. Misalnya karena
ada kendali dalam aspek pasar (market driven). Kesadaran tentang pentingnya
mengimplementasikan CSR ini menjadi tren seiring dengan maraknya kepedulian
masyarakat global terhadap produk-produk yang ramah lingkungan dan diproduksi
dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial.
Selain
market driven, driven lain yang yang sanggup memaksa perusahaan untuk
mempraktkan CSR adalah adanya penghargaan-penghargaan (reward) yang diberikan
oleh segenap institusi atau lembaga. Misalnya CSR Award baik yang regional
maupun global, Padma (Pandu Daya Masyarakat) yang digelar oleh Depsos, dan
Proper (Program Perangkat Kinerja Perusahaan) yang dihelat oleh Kementrian
Lingkungan Hidup.
Ketiga,
Bukan sekedar kewajiban (compliance), tapi lebih dari sekdar kewajiban (beyond
compliance) atau (compliance plus). Diimplementasikan karena memang ada
dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan telah menyadari
bahwa tanggungjawabnya bukan lagi sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan
profit demi kelangsungan bisnisnya, melainkan juga tanggungjawab sosial dan
lingkungan. Dasar pemikirannya, menggantungkan semata-mata pada kesehatan
finansial tidak akan menjamin perusahaan bisa tumbuh secara berkelanjutan.
Hal
terpenting dari cara pandang perusahaan sehingga melaksanakan CSR adalah upaya
untuk memenuhi kewajiban (compliance). Kewajiban bisa bersumber dari aturan
pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan, baik yang ditetapkan melalui
Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga peraturan
daerah, ataupun peraturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan antar perusahaan
maupun lembaga yang melakuakn standarisasi produk. Kepatuhan terhadap hukum
menjadi penting, karena dimensi dibuatnya aturan bertujuan agar perusahaan
tidak hanya fokus pada keuntungan bisnis semata, melainkan mampu memberikan
kontribusi positif bagi pembangunan.
Implementasi
CSR diperusahaan pada umumnya dipengaruhi beberapa faktor (Wibisono, 2007).
Pertama, terkait dengan komitmen pemimpinnya. Perusahaan yang pimpinannya tidak
tanggap dengan masalah sosial, jangan harap mempedulikan maslah sosial. Kedua,
menyangkut ukuran dan kematangan perusahaan. Ketiga, regulasi dan system
perpajalan yang diatur pemerintah. Semakin kondusif regulasi atau semakin besar
insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi member semangat kepada
perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.
Peraturan Hukum Terkait CSR
Terdapat
4 (empat) peraturan yang mewajibkan perusahaan tertentu untuk menjalankan
program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR dan satu acuan (Guidance) ISO
26000 sebagai referensi dalam menjalankan CSR, sebagaimana diuraikan
Rahmatullah (2011, hal.14)
1.
Keputusan
Menteri BUMN Tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL).
Berdasarkan
Peraturan Menteri Negara BUMN, Per-05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan
bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut
Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar
menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
Sedangkan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang
selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial
masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN.
Adapun
ruang lingkup bantuan Program BL BUMN, berdasarkan Permeneg BUMN,
Per-05/MBU/2007 Pasal 11 ayat (2) huruf e adalah:
1) Bantuan
korban bencana alam;
2) Bantuan
pendidikan dan/atau pelatihan;
3) Bantuan
peningkatan kesehatan;
4) Bantuan
pengembangan prasarana dan/atau sarana umum;
5) Bantuan
sarana ibadah;
6) Bantuan
pelestarian alam.
2.
Undang-Undang
Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007
Selain
BUMN, saat ini Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola atau operasionalnya
terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA) diwajibkan melaksanakan program CSR,
karena telah diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007.
Dalam
pasal 74 dijelaskan bahwa:
1) Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan,
2) Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan kewajiban
Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran,
3) Perseroan
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
3.
Undang-Undang
Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007
Peraturan
lain yang mewajibkan CSR adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, tentang
Penanaman Modal, baik penanaman modal dalam negeri, maupun penenaman modal
asing. Dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Sanksi-sanksi
terhadap badan usaha atau perseorangan yang melanggar peraturan, diatur dalam
Pasal 34, yaitu berupa sanksi administratif dan sanksi lainnya,
diantaranya:
(a) peringatan
tertulis;
(b) pembatasan
kegiatan usaha;
(c) pembekuan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau
(d) pencabutan
kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.
4.
Undang-Undang
Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001
Khusus
bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola Sumber Daya Alam (SDA) dalam hal
ini minyak dan gas bumi, terikat oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001,
tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan pada Pasal 13 ayat 3 (p),:
Kontrak
Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit
ketentuan-ketentuan pokok yaitu: (p) pengembangan masyarakat sekitarnya dan
jaminan hak-hak masyarakat adat.
Berdasarkan
Undang-undang tersebut, perusahaan yang operasionalnya terkait Minyak dan Gas
Bumi baik pengelola eksplorasi maupun distribusi, wajib melaksanakan kegiatan
pengembangan masyarakat dan menjamin hak-hak masyarakat adat yang berada di
sekitar perusahaan.
5.
Guidance
ISO 26000
Berbeda
dari bentuk ISO yang lain, seperti ISO 9001: 2000 dan 14001: 2004. ISO 26000
hanya sekedar standar dan panduan, tidak menggunakan mekanisme sertifikasi.
Terminologi Should didalam batang tubuh standar berarti shall dan tidak
menggunakan kata must maupun have to. Sehingga Fungsi ISO 26000 hanya sebagai guidance.
Selain
itu dengan menggunakan istilah Guidance Standard on Social Responsibility,
menunjukkan bahwa ISO 26000 tidak hanya diperuntukkan bagi Corporate
(perusahaan) melainkan juga untuk semua sektor publik dan privat. Tanggung
jawab sosial dapat dilakukan oleh institusi pemerintah, Non governmental
Organisation (NGO) dan tentunya sektor bisnis, hal itu dikarenakan setiap
organisasi dapat memberikan akibat bagi lingkungan sosial maupun alam. Sehingga
adanya ISO 26000 ini membantu organisasi dalam pelaksanaan Social
Responsibility, dengan cara memberikan pedoman praktis, serta memperluas
pemahaman publik terhadap Social Responsibility.
ISO
26000 mencakup beberapa aspek berikut:
1. ISO
26000 menyediakan panduan mengenai tanggung jawab sosial kepada semua bentuk
organisasi tanpa memperhatikan ukuran dan lokasi untuk:
a. Mengindentifikasi
prinsip dan isu
b. Menyatukan,
melaksanakan dan memajukan praktek tanggung jawab social
c. Mengindetifikasi
dan pendekatan/pelibatan dengan para pemangku kepentinga
d. Mengkomunikasikan
komitmen dan performa serta kontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan.
2. ISO
26000 mendorong organisasi untuk melaksanakan aktivitas lebih sekedar dari apa
yang diwajibkan.
3. ISO
26000 menyempurnakan/melengkapi Instrumen dan inisiatif lain yang berhubungan
dengan tanggung jawab social
4. Mempromosikan terminologi umum dalam lingkupan tanggung
jawab sosial dan semakin memperluas pengetahuan mengenai tanggung jawab sosial.
5. Konsisten
dan tidak berkonflik dengan traktat internasional dan standarisasi ISO lainnya
serta tidak bermaksud mengurangi otoritas pemerintah dalam menjalankan tanggung
jawab sosial oleh suatu organisasi.
6. Prinsip
ketaatan pada hukum/ legal compliance, prinsip penghormatan terhadap instrumen
internasional, prinsip akuntabilitas, prinsip transparasi, prinsip pembangunan
keberlanjutan, prinsip ethical conduct, prinsip penghormatan hak asasi manusia,
prinsip pendekatan dengan pencegahan dan prinsip penghormatan terhadap
keanekaragaman
Tahapan Pelaksanaan CSR
Mengacu
pada tahapan pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan dalam pengembangan
masyarakat, menurut Hurairah (2008), terdapat 6 (enam) tahapan, yaitu:
assessment, plan of treatment, treatment action, monitoring and evaluation,
termination dan after care.
Dari
keenam tahapan tersebut, penelitian ini hanya mendeskripiskan tiga tahapan
awal, dikarenakan CCSR baru berdiri satu tahun, baru sampai pada tahapan
treatment action atau implementasi program. Ketiga tahapan tersebut sebagai
berikut:
1. Asssessment.
Proses mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan atau felt needs)
ataupun kebutuhan yang diekspresikan (ekspressed needs) dan juga sumber daya
yang dimiliki komunitas sasaran.Dalam proses ini masyarakat dilibatkan agar
mereka dapat merasakan bahwa permasalahan yang sedang dibicarakan benar-benar
keluar dari pandangan mereka sendiri.
2. Plant
of Treatment. Merupakan rencana tindakan yang dirumuskan seharusnya, berkenaan
dengan upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dan penanganan-penanganan masalah
yang dirasakan masyarakat. Wacana mengenai program program berbasis masyarakat
mendorong berkembangnya metodologi perencanaan dari bawah.
3. Treatment
action. Tahap pelaksanaan merupakan tahap paling krusial dalam pelaksanaan CSR.
Sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik dapat menyimpang dalam
pelaksanaannya dilapangan jika tidak terdapat kerjasama antara masyarakat,
fasilitator dan antar warga.
Referensi