Ekonomi Kerakyatan Ekonomi Rakyat
Koperasi sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional
Oleh :Revrison Baswir, SE
Sebagai antithesa dari era
pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Soeharto yang kemudian dikenal sebagai
pemerintahan Orde Baru, menandai bergesernya bandul perekonomian Indonesia ke
sisi sebelah kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan diundangkannya Undang
Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No. 1/1967 dan UU Koperasi No. 12/1967.
Memang, di awal Orde Baru ini gagasan ekonomi kerakyatan sempat mencoba muncul
kembali. Tetapi dalam pergulatan pemikiran yang terjadi antara kubu ekonomi
kerakyatan yang antara lain dimotori oleh Sarbini Sumawinata, dengan kubu
ekonomi neoliberal yang dimotori oleh Widjojo Nitisastro, kubu ekonomi
neoliberal muncul sebagai pemenang. Sarbini hanya sempat singgah sebentar di Bappenas
pada beberapa tahun pertama Orde Baru.
Setelah itu, walaupun tahun 1974
Indonesia sempat diguncang oleh peristiwa Malari, perkembangan perekonomian
Indonesia di tangan teknokrat neoliberal boleh dikatakan semakin sulit
dibendung. Para teknokrat neoliberal, dengan dukungan penuh dari Dana. Moneter
Intemasional (IMF), Bank Dunia, dan negara-negara kreditur yang tergabung daJam
Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), silih berganti memimpin perumusan
kebijakan ekonomi Indonesia. Sasaran utama mereka adalah terpeliharanya
stabilitas makro ekonomi dan tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi
setinggitingginya. Untuk itu, instrumen utamanya adalah penggalangan modal
asing, baik melalui pembuatan utang luar negeri maupun dengan mengundangnya
masuknya. investasi asing langsung. Pada mulanya prestasi teknokrat neoliberal,
yang sempat dikenal sebagai Mafia Berkeley itu, memang cukup mencengangkan.
Terhitung sejak awal Pelita I (1969 -1973), inflasi berhasil dikendalikan di
bawah dua digit. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil dipacu dengan rata-rata
6,5 persen pertahun. Implikasinya, pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang
pada 1969 masih sekitar USD 90, lahun 1982 berhasil ditingkatkan menjadi USD
520. Bahkan, di penghujung 1980-an, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi
kemiskinan sempat dipuji oleh Bank Dunia. Menurut lembaga keuangan multilateral
yang didirikan pada tahun 1944 tersebut, keberhasilan Indonesia dalam
menanggulangi kemiskinan patut menjadi contoh bagi negara-negara sedang berkembang
lainnya (World Bank, 1990), Tahun 1997, sebelum perekonomian Indonesia. ambruk
dilanda oleh krisis moneter, pendapatan perkapita penduduk Indonesia sudah
berhasil ditingkatkan menjadi USD 1,020. Dengan mengemukakan hal itu tentu
tidak berarti bahwa perjalanan ekonomi neoliberal sepanjang era Orde Baru tidak
berlangsung tanpa kritik. Salah satu kritik yang sering dialamatkan terhadap
kebijakan ekonomi yang pro pertumbuhan dan modal asing itu adalah soal
melebarnya jurang kesenjangan. Pertumbuhan ekonomi lndonesia yang cukup
mengagumkan itu, ternyata tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan
penduduk. Kesenjangan pengeluaran antara 10 persen penduduk termiskin dengan 10
persen penduduk terkaya, meningkat dari 1 : 6,5 pada tahun 1970, meujadi 1 : 8,7
pada tahun 1995. Salah seorang pengritik kebijakan ekonomi neoliberal yang
cukup terkemuka sepanjang tahun delapan puluhan adalah Mubyarto. Dalam pidato
pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun
1979, Mubyarto dengan tajam mengritik kebijakan ekonomi Orde Baru yang
dipandangnya sudah sangat jauh melenceng dari amanat konstitusi. Sembari
menggaris bawahi pentingnya pendekatan transdisipliner dalam pelaksanaan
pembangunan di Indonesia, Mubyarto kembali memunculkan semangat ekonomi
kerakyatan ke permukaan dengan label Ekonomi Pancasila. Namun demikian,
sebagaimana Sarbini, kritik tajam Mubyarto hilang begitu saja seperti ditelan
ombak. Bahkan, Mubyarto sendiri kemudian turut ditelan oleh ‘ombak’ Kabinet
Pembangunan VI.
Kritik lain yang mencuat terhadap
kebijakan ekonomi neoliberal dalam era 1980-an adalah mengenai merajalelanya
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesenjangan ekonomi Indonesia terayata
tidak hanya disebabkan oleh adanya trade off antara pertumbuhan dengan
pemerataan. Secara empiris, hal itu ternyata diperparah oleh merajalelanya KKN
pada hampir semua tingkat birokrasi pemerintahan di Indonesia. Beberapa tahun
terakhir menjelang kejatuhan Soeharto, Indonesia praktis sudah dikenal oleh
masyarakat intemasional sebagai salah satu negara juara korupsi di dunia.
Konsekuensinya, perkoncoan penguasa-pengusaha dalam pentas ekonomi Orde Baru
cenderung tampak semakin kasat mata. Bahkan, terhitung sejak pertengahan
1980-an, keterlibatan kerabat Cendana dalam memperebutkan kue bisnis di
Indonesia mulai mencuat ke permukaan menjadi bahan perbincangan umum. Separuh
terakhir era ekonomi Orde Baru memang ditandai oleh maraknya perbincangan
mengenai perkembangan kapitalisme perkoncoan (crony capitalism) di Indonesia.
Yang tidak banyak diketahui oleh warga masyarakat adalah soal keterlibatan para
pejabat pemerintah dan para pengusaha kroni Orde Baru itu dalam menumpuk utang
luar negeri. Selain hidup dari fasilitas negara dan penyalahgunaan tabungan
masyarakat, para pengusaha kroni Orde Baru tersebut ternyata juga membangun
kerajaan bisnis mereka dengan cara menumpuk utang. Dengan bertumpuknya utang
luar negeri sektor swasta sebesar 65 milyar dolar AS, di atas tumpukkan utang
luar negeri pemerintah sebesar 54 milyar dolar AS, dapat disaksikan betapa
kebiasaan menumpuk utang luar negeri dalam era Orde Baru, selain dilakukan oleh
sektor negara, dilakukan pula oleh sektor dunia usaha.
Klimaksnya, sebagaimana berlangsung
sejak pertengahan 1997, perekonomian Indonesia tiba-tiba ambruk dihantam oleh
badai krisis moneter yang ditiupkan. oleh kekuatan kapitalisme kasino (casiho
capitalism). Fundamental ekonomi Indonesia yang di permukaan tampak cukup
meyakinkan, bagian dalamnya temyata keropos dan menyimpan bom waktu. Selain
ditandai oleh tingkat kesenjangan ekonomi yang mencolok dan merajalelanya KKN,
pertumbuhan ekonomi Orde Baru yang rata-rata mencapai 6,5 persen tadi ternyata
hanyalah pertumbuhan ekonomi semu yang dibangun di atas fondasi tumpukan utang
luar negeri.Selanjutnya, seiring dengan semakin merosotya nilai rupiah dan
tumbangnya Soeharto, para kroni Orde Baru yang telah terlanjur menumpuk utang
luar negeri tersebut, terjungkal satu per satu. Celakanya, antara lain melalui
penerbitan obligasi rekapitalisasi yang secara keseluruhan berjumlah sekitar Rp
650 trilyun, yaitu yang ditujukan untuk menyelamatkan sektor perbankan, rakyat
banyak yang sudah cukup lama menderita turut mereka bawa serta. Sebagaimana
diketahui, kurs rupiah pada permulaan 1998 memang sempat merosot secara tajam dari
rata-rata Rp 2.400 menjadi Rp l6.000 per satu dollar AS. Akibatya, laju
pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1998 mengalami kontraksi secara
dramatis sebesar -13,8 persen. Dengan demikian, krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak hanya menjadi malapetaka bagi mereka yang berkuasa dan serba
punya, tetapi menjadi malapetaka pula bagi rakyat banyak yang telah lama
menderita. Singkat cerita, krisis ekonomi yang sempat meluas menjadi kerusuhan
sosial dan politik itu, bermuara pada melambungnya harga berbagai kebutuhan
pokok rakyat, ditutupnya 16 bank atas perintah Dana Moneter Internasional (MF),
bangkruIya sejumlah perusahaan, dan meluasnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
secara nasional. Bahkan, menyusul penerbitan obligasi rekapitalisasi sebesar Rp
650 trilyun sebagaimana dikemukakan tadi, pemerintah Indonesia secara resmi
terpuruk ke dalam perangkap utang dalam dan luar negeri sebesar Rp l.300
trilyun. Di tengah-tengah situasi seperti itu, yaitu dengan berlangsungnya
proses sistematis sosialisasi beban ekonomi negara kepada rakyat banyak,
kondisi perekonomian rakyat dengan sendirinya terpuruk semakin dalam. Substansi
Ekonomi Kerakyatan. Pertanyaannya, urgensi apakah sesungguhnya yang mendorong
mencuatya kembali perbincangan mengenai ekonomi kerakyatan dalam beberapa tahun
belakangan ini?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada
baiknya bila substansi ekonomi kerakyatan dikemukakan secara singkat.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, landasan konstitusional sistem ekonomi
kerakyatan adalah Pasal 33 UUD 1945. “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi
ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawali pimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan,
bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan
itu ialah koperasi.” Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD
1945 itu, dapat disaksikan bahwa substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya
mencakup tiga hal sebagai berikut.
Pertama, partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam proses produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam proses produksi nasional ini menempati kedudukan yang sangat
penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk
menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga sebagai
dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati
hasil produksi nasional. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945
yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusian.” Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat
dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi
kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati
hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar.
Hal itu antara lain dipertegas oleh
Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau
demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi
fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia. Ketiga, kegiatan pembentukan
produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah
pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya
menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar
menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan pembentukan
produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi
penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan
pengawasan angota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi yang ketiga tersebut saya kira perlu digarisbawahi. Sebab unsur ekonomi
kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota
masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktorfaktor produksi nasional.
Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal dalam hal ini tidak hanya terbatas
dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal
intelektual (intelectual capitaf) dan modal institusional (institusional
capital).
Sebagai konsekuensi logis dari unsur
ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus
mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut
secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal
material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak
kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua
anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur
terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib
memelihara mereka. Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib
menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka
ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan
secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu
melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu
sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok
penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Sementara itu, sehubungan dengan modal institusional, saya kira tidak ada
keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekaan
setiap anggota masyarakat untuk. berserikat, berkumpul, dan menyatakan
pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan
sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan anggota masyarakat
untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak
terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula
serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara
untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat ekonomi
seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha
kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi
lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Bertolak dari uraian tersebut, dapat
disaksikan bahwa tujuan utama ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan jalannya roda
perekonomian. Bila tujuan utama ekonomi kerakyatan itu dijabarkan lebih lanjut,
maka sasaran pokok ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya meliputi lima hal
berikut:
- Tersedianya peluang kerja dan penghidupan yang layak bagi seluruh anggota masyarakat.
- Terselenggaranya sistem jaminan sosial bagi anggota masyarakat yang membutuhkan, terutama fakir miskin dan anak-anak teriantar.
- Terdistribusikannya kepemilikan modal material secata relatif merata di antara anggota masyarakat.
- Terselenggaranya pendidikan nasional secara cuma-cuma bagi setiap anggota masyarakat.
- Terjaminnya kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk mendirikan dan menjadi anggota serikat-serikat ekonomi.
Sejalan dengan itu, sebagaimana
ditegaskan oleh Pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peranan yang
sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peranan negara tidak hanya
terbatas sebagai pengatur jalannya roda perekonomian. Melalui pendirian
Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan
berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar
kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakinuran orang
seorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke taugan orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat
banyak oleh segelintir orang yang berkuasa. Walau pun demikian, sama sekali
tidak benar jika dikatakan bahwa system ekonomi kerakyatan cenderung
mengabaikan efisiensi dan bersifat anti pasar.
Efisiensi dalam sistem ekonomi
kerakyatan tidak hanya dipahami dalam perspektif jangka pendek dan berdimensi
keuangan, melainkan dipahami secara komprehensif dalam arti memperhatikan baik
aspek kualitatif dan kuantitatif, keuangan dan non-keuangan, maupun aspek
kelestarian lingkungan. Politik ekonomi kerakyatan memang tidak didasarkan atas
pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas, melainkan atas keadilan, partisipasi,
dan keberlanjutan. Mekanisme alokasi dalam sistem ekonomi kerakyatan, kecuali
untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak, tetap di dasarkan atas mekanisme pasar. Tetapi mekanisme
pasar bukan satu-satunya. Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong
untuk diselenggaran melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar
dan koperasi dapat. diibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang
sama dalam mekanisme alokasi sistem ekonomi kerakyatan. Dalam rangka itu,
sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan pasar dan
koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus menerus
melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan penguasaan modal
atau faktor-faktor produksi kepada segenap lapisan anggota masyarakat. Proses
sistematis untuk mendemokratisasikan penguasaan faktor-faktor produksi atau
peningkatan kedaulatan ekonomi rakyat inilah yang menjadi substansi sistem
ekonomi kerakyatan (lihat Dahl, 1992).
Dilihat dari sudut Pasal 33 UUD 1945, keikutsertaan anggota masyarakat dalam memiliki faktor faktor produksi itulah antara lain yang menyebabkan dinyatakannya koperasi sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana diketahui, perbedaan koperasi dari perusahaan perseroan terletak pada diterapkannya prinsip keterbukaan bagi semua pihak yang mempunyai kepentingan dalam lapangan usaha yang dijalankan oleh koperasi untuk turut menjadi anggota koperasi (Hatta, 1954, hal. 218). Sehubungan dengan itu, Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta, berulangkali menegaskan bahwa pada koperasi memang terdapat perbedaan mendasar yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Di antaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu diikutsertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Bung Hatta, “Pada koperasi tak ada majikan dan tak ada buruh, semuanya pekerja yang Bekerjasama untuk menyelenggarakan keperluan bersama” (Ibid, hal. 203). Penegasan seperti itu diuraikan lebih lanjut oleh Bung Hatta dengan mengemukakan beberapa contoh, “Misalnya koperasi menggaji bumh untuk menyapu ruangan bekerja, supaya anggota-anggota yang bekerja jangan terganggu kesehatannya oleh debu. Umpamanya pula koperasi menggaji instruktur untuk mengajar dan memberi petunjuk tentang cara mengerjakan administrasi dan pembukuan kepada anggota yang diserahi dengan pekerjaan itu. Sungguh pun demikian, juga terhadap mereka yang memburuh itu, yang mengerjakan pekerjaan kecil-kecil, koperasi harus’ membuka kesempatan untuk menjadi anggota. Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan yang menjadi ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masing” (Ibid., hal. 215).
Berdasarkan ilustrasi Bung Hatta
itu, kiranya jelas, karakter utama ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi
pada dasamya terletak pada dihilangkannya watak individualistis dan
kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro hal itu antara
lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai anggota koperasi
atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu berarti ditegakkannya
kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya kemakmuran masyarakat di atas
kemakmuran orang seorang. Pendek kata, dengan diangkatya ekonomi kerakyatan
sebagai prinsip penyelenggaraan ekonomi Indonesia, prinsip itu dengan
sendirinya tidak hanya memiliki kedudukan penting dalam menentukan corak sistem
perekonomian yang harus diselenggarakan oleh pemerintah pada tingkat makro. la
juga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan corak perusahaan
yang sepatuIya dikembangkan pada tingkat mikro. Penegakan kedaulatan ekonomi
rakyat dan pengutamaan kemakmuran masyarakat di atas kemakmuran orang seorang,
hanya dapat dilakukan dengan menerapkan dan mengamalkan prinsip tersebut.
Sumber : http://splashurl.com/n5zxm7p
Daftar Pustaka
Bonin,John P,Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), Theorical adn Empirical Studies of Producer Cooperative:Will Ever the Twain Meet?”,Journal of Economic Literature,31:1290-1320
Braverman,Avishay,J.Luis Guasch,Monika Huppi,dan Lorenz Pohlmeier (1991),”promoting Rural Cooperative in Developing Papers,No. 121,April,Washington,DC:The World bank.
Handoyo (2004),”Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaaan Gerakan Koperasi”, INOVASI,2(XVI),November.
Mubyarto (2000),Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta : BPFE. Mulyo,jangkung
Soetrisno,Noer (2001),”Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut kekuatan Ekonomi rakyat”,,Instrans, jakarta Stiglitz,Joseph (2006), Making Globalization Work,New York:W.W. Norton & company
Daftar Pustaka
Bonin,John P,Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), Theorical adn Empirical Studies of Producer Cooperative:Will Ever the Twain Meet?”,Journal of Economic Literature,31:1290-1320
Braverman,Avishay,J.Luis Guasch,Monika Huppi,dan Lorenz Pohlmeier (1991),”promoting Rural Cooperative in Developing Papers,No. 121,April,Washington,DC:The World bank.
Handoyo (2004),”Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaaan Gerakan Koperasi”, INOVASI,2(XVI),November.
Mubyarto (2000),Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta : BPFE. Mulyo,jangkung
Soetrisno,Noer (2001),”Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut kekuatan Ekonomi rakyat”,,Instrans, jakarta Stiglitz,Joseph (2006), Making Globalization Work,New York:W.W. Norton & company
Tidak ada komentar:
Posting Komentar