Ekonomi Kerakyatan Ekonomi Rakyat
Koperasi sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional
Oleh :Revrison Baswir, SE
Urgensi Ekonomi Kerakyatan
Sebagai sebuah paham dan sistem
ekonomi yang bermaksud menegakkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi, tentu
sangat wajar bila ekonomi kerakyatan cenderung mendapat perlawanan dari
berbagai kalangan. Bagi para penganut kapitalisme neoliberal, misalnya, gagasan
ekonomi kerakyatan tidak hanya dipandang tidak sejalan dengan teoriteori
ekonomi yang telah mereka yakini, tetapi juga cenderung dipandang sebagai
ancaman serius terhadap pemenuhan kepentingan-kepentingan pribadi mereka.
Terdapat berbagai argumen yang sering dilontarkan oleh para penghayat
kapitalisme neoliberal untuk melecehkan ekonomi kerakyatan. Mereka yang
bergerak dalam dunia akademis biasanya akan segera mengatakan bahwa ekonomi
kerakyatan hanyalah sebuah jargon politik, tidak ada dalam teks book, dan tidak
ada coritohnya dalam dunia nyata. Sementara mereka yang bergerak di sektor
dunia usaha, cenderung mengasosiasikan ekonomi kerakyatan dengan sistem ekonomi
sosialis otoriter ala Uni Soviet yang sudah bangkrut itu. Agak berbeda dari
para penghayat paham kapitalisme neoliberal adalah mereka yang bersimpati
terhadap substansi ekonomi kerakyatan, tetapi tidak yakin terhadap peluang
penerapannya. Kelompok yang tergolong ragu-ragu ini biasanya menganggap ekonomi
kerakyatan sebagai sebuah gagasan idealis yang tidak realistis. Menurut mereka,
di tengah-tengah hegemoni kapitalisme noeliberal yang ditandai oleh
berlangsungnya dominasi kapitalisme kasino seperti saat ini, bagaimana mungkin
ekonomi kerakyatan dapat diselenggarakan?
Perlawanan dan keragu-raguan
terhadap ekonomi kerakyatan adalah hal yang wajar. Sebagai sebuah paham dan
sistem ekonomi, setidak-tidaknya dalam jangka pendek, ekonomi kerakyatan memang
tidak bermaksud membahagiakan semua kalangan. Artinya, walapun dalam jangka
panjang ekonomi kerakyatan menjanjikan kondisi perekonomian yang lebih
berkeadilan, dalam jangka pendek ia adalah ancaman yang sangat serius bagi
mereka yang telah merasa sangat diuntungkan oleh sistem ekonomi kapitalis
neoliberal.
Sehubungan dengan itu, mungkin ada
baiknya bila dikemukakan secara singkat argumentasi yang melatar belakangi
pentingnya pelaksanaan demokratisasi modal atau demokratisasi penguasaan
faktor-faktor produksi dalam rangka penyelenggaraan system ekonomi kerakyatan.
Selain didasarkan pada motivasi untuk menciptakan keadilan ekonomi, secara
politik, demokratisasi modal atau demokratisasi penguasaan faktorfaktor
produksi adalah pilar penting bagi sistem demokrasi sosial Indonesia untuk
menjamin terselenggaranya demokrasi politik dalam arti yang sebenarnya (Hatta,
1960).
Dalam pandangan ekonomi kerakyatan,
demokrasi politik saja tidak mencukupi bagi rakyat banyak untuk mengendalikan
jalannya roda perekonomian. Sebab, sebagaimana berbagai bidang kehidupan
lainnya, persaingan politik sangat tergantung pada modal. Dengan demikian,
walau pun suatu masyarakat telah memiliki kelembagaan politik yang secara
prosedural tergolong demokratis, letapi faktor modal akan tetap memainkan
peranan sangat penting dalam mempengaruhi pilihan-pilihan politik masyarakat.
Sebagaimana pemah dikemukakan oleh Gramsei (dalam Sugiono, 1999), sesungguhnya para pemodal besar
tidak hanya cenderung memanfaatkan negara sebagai sarana untuk membela
kepentingan kelas mereka. Melalui kekuatan modal yang mereka miliki, demokrasi
pun cenderung mereka pakai sekedar sebagai sarana untuk melestarikan posisi
dominan mereka di tengah-tengah masyarakat.
Hal itu mereka lakukan baik dengan
memberi dukungan modal material terhadap kandidat atau partai politik yang
memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelas mereka, menghambat proses
penguatan modal institusional pada kelompok masyarakat yang mereka eksploitasi,
maupun dengan cara menguasai dan memanipulasi informasi serta dengan cara
mengkomersialkan penyelenggaraan pendidikan. Untuk menghadapi kelicikan para
pemodal besar tersebut, tidak ada pilihan lain bagi rakyat banyak seperti kaum
buruh, kaum tani, kaum nelayan, usaha kecil-menengah, dan kaum miskin kota,
kecuali berusaha mempersenjatai diri mereka dengan modal material yang cukup,
kemampuan intelektual yang memadai, dan terutama sekali modal institusional
yang kuat. Upaya untuk mempersenjatai diri dengan ketiga jenis modal tersebut
jelas tidak mungkin diperoleh secara cuma-cuma. la memerlukan perjuangan. Jika
dilihat berdasarkan perspektif pemenuhan hak azasi manusia, terutama hak-hak
ekohomi, rakyat banyak pada dasarnya memiliki hak untuk menuntut kepada negara
agar memfasilitasi proses penguasaan ketiga jenis modal atau faktor produksi
tersebut. Sebagai misal, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, adalah dengan
menuntut penyediaan. peluang kerja dan penghidupan yang layak, serta
penyelenggarakan pendidikan cuma-cuma bagi seluruh anggota masyarakat.
Dengan latar belakang seperti itu,
sebagaimana halnya kapitalisme neoliberal, ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah
paham dan sistem ekonomi. Selain merupakan sebuah paham dan sistem ekonomi,
ekonomi kerakyatan adalah gerakan politik yang secara tegas memihak pada
pemberdayaan kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam system ekonomi
kapitalis neoliberal, khususnya dari dominasi para pemodal besar yang memang
memiliki watak untuk secara terus menerus meminggirkan mereka. Tujuan utama paham dan sistem
ekonomi kerakyatan, berbeda dari sistem ekonomi sosialias otoriter yang pernah
dijalankan di Uni Sovyet, bukanlah untuk membasmi para pemodal besar. Tujuan
utama ekonomi kerakyatan adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi dan politik
yang demokratis dan berkeadilan dalam arti yang sebenar-benarnya. Dengan
meningkatya penguasaan modal atau faktor-faktor produksi oleh segenap lapisan
anggota masyarakat, dan dengan meningkatnya kemampuan mereka dalam
mengendalikan jalannya roda perekonomian, maka penyalahgunaan demokrasi sebagai
sarana untuk memperoleh legitimasi oleh para pemodal besar diharapkan akan
dapat dihindari. Berangkat dari substansi dan urgensi sistem ekonomi kerakyatan
sebagaimana dikemukakan tersebut, beberapa hal mudah-mudahan kini menjadi lebih
jelas, terutama bagi mereka yang selama ini masih ragu-ragu terhadap
kemungkinan penyelenggaraan sistem ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Pertama, sebagai sebuah paham,
ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah paham yang bersifat apolitis. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, ekonomi kerakyatan juga berperan sebagai gerakan
politik untuk mencegah berlanjutya kesewenang-wenangan para pemodal .besar,
termasuk kesewenang-wenangan kekuatan modal internasional dan lembaga-lembaga
keuangan dan perdagangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF, dan WTO.
Kedua, jika dilihat dari segi
konstituennya, konstituen utama ekonomi kerakyatan adalah kelompok masyarakat
yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal. Dalam garis
besarnya mereka terdiri dari kaum buruh, kaum tani, kaum nelayan, pegawai negeri
golongan bawah, usaha kecil-menengah, dan kaum miskin kota. Di luar kelima
kelompok besar tersebut tentu terdapat berbagai kelompok masyarakat lainnya
yang dapat pula digolongkan sebagai kelompok teipinggirkan (kaum musiad’afiri)
dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal.
Ketiga, jika dilihat dari musuh
strategisnya, musuh utama gerakan ekonomi kerakyatan terdiri dari para penguasa
negara-negara industri pemberi ulang, perusahaan-perusahaan multinasional dan
transnasional (MNC dan IC), lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan
mulitateral yang menjadi agen utama penyebarluasan kapitalisme neoliberal, para
penguasa negara yang menjadi kaki tangan kepentingan para pemodal besar, dan
para pemodal besar domestik yang menghalang-halangi upaya perwujudan sistera
ekonomi kerakyatan. Orientasi ekonomi kerakyatan pada penciptaan kondisi
ekonomi dan politik yang demokratis dan berkeadilan tersebut tentu sangat
bertentangan dengan kepentingan kelompok-kelompok masyarakat yang telali merasa
sangat diuntungkan oleh system perekonomian yang sedang berjalan. Artinya,
dengan orientasi seperti itu, tantangan yang dihadapi oleh ekonomi kerakyatan
pada dasarnya tidak hanya karena ia sekedar jargon politik, atau karena ia
tidak ditemukan dalam teksbook, melainkan karena penyelenggaraannya merupakan
ancaman bagi kesinambungan dominasi kelompok yang berkuasa. dan serba punya
dalam mengendalikan jalannya roda perekonomian Indonesia.
Dalam konteks situasi perekonomian
Indonesia ssat ini, secara keseluruhan, tantangan. terbesar yang dihadapi oleh
ekonomi kerakyatan terutama datang dari dua pihak.
Pertama, dari kelompok masyarakat
yang selama ini telah sangat diuntungkan oleh kapitalisme perkoncoan (crony
capitalism) yang diselenggarakan oleh Orde Baru. Walau pun secara formal Orde
Baru telah berhasil disingkirkan, tetapi praktik KKN masih terus merajalela.
Bahkan, ada indikasi bahwa dalam era multi partai sekarang ini, berlangsung
proses demokratisasi dalam pelaksanaan KKN di Indonesia. Sebagaimana ditengarai
oleh lembaga Transparency International yang berkedudukan di Jerman, tahun 2002
Indonesia masih menempati urutan ketujuh sebagai negara juara korupsi. Tetapi
tahun 2003, posisi Indonesia justru naik ke urutan keenam. Kejahatan
ekonomi-politik yang sebagian besar melibatkan para pejabat negara dan para
pemodal besar tersebut, tentu merupakan kenikmatan tersendiri yang diwariskan
Orde Baru, yang tidak mudah untuk dihapus begitu saja. Para pejabat negara yang
telah bertahun-tahun menikmati rasa manis kapitalisme perkoncoan tersebut tentu
akan mempertahankan sistem itu sekuat tenaga. Demikian halnya dengan para
pengusaha perkoncoan atau para kroninya. Banyak cara yang dapat mereka tempuh
dalam mempertahankan posisi dominan mereka miliki, termasuk dengan menyelinap
dan menelikung proses transisi demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.
Kedua, dari jaringan kekuatan modal
intemasional, khususnya dari kekuatan kapitalisme kasino yang ingin
mencengkeram dan menghisap perekonomian Indonesia. Walau pun selama Orde Baru
kekuatan modal intemasional ini sudah hadir di sini, tetapi ketika itu mereka
terpaksa harus berbagi dengan Soeharto dan para kroninya. Kini, setelali
berakhimya kekuasaan Soeharto, mereka berusaha sekuat tenaga untuk memiliki
arena bermain yang lebih leluasa untuk mengekploitasi dan menguras kekayaan
Indonesia. Celakanya, Orde Baru telah mewariskan utang luar negeri yang sangat
besar jumlahnya terhadap rakyat Indonesia. Bahkan, untuk menyelamatkan
perekonomian Indonesia dari kehancuran yang lebih drastis, Soeharto telah
secara resmi mengundang IMF untuk menjadi ‘dokter penyelamat’ perekonomian
Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia yang terlanjur terjebak dalam perangkap
utang luar negeri sebesar hampir 130 milyar dolar AS itulah terutama yang
dicoba dimanfaatkan oleh jaringan kekuatan modal internasional untuk memaksakan
penyelenggaraan sistem ekonomi kapitalis neoliberal di negeri ini.
Sebagaimana berlangsung beberapa
tahun belakangan ini, menyusul penanda tanganan letter of intent (LOI) oleh
pemerintah Indonesia, negeri ini dipaksa oleh IMF untuk menyelenggarakan
sejumlah agenda kapitalisme neoliberal yang dikenal sebagai paket program
penyesuaian struktural (structural adjustment program). Pelaksanaan paket
program penyesuaian struktural yang dikenal pula sebagai paket kebijakan
Konsensus Washington itulah yang kita saksikan melalui pelaksanaan kebijakan
uang ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan dan perdagangan,
serta dalam pelaksanaan privatisasi BUMN di Indonesia.
Di tengah-tengah situasi
perekonomian Indonesia yang tengah menjadi ajang rebutan antara oligarki
kekuatan kapitalisme perkoncoan Orde Baru dan kekuatan kapitalisme
internasional itu, jelas tidak ada pilihan lain bagi rakyat Indonesia, kecuali
segera merapatkan barisan untuk memperjuangkan penyelenggaraan sistem ekonomi
kerakyatan secepatya. Amanat Ketetapan Majelas Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
No. IV/1999) untuk menyelenggarakan system ekonomi kerakyatan, harus
benar-benar dimanfaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkan sistem ekonomi
kerakyatan secepatya.
Sumber : http://splashurl.com/n5zxm7p
Daftar Pustaka
Bonin,John P,Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), Theorical adn Empirical Studies of Producer Cooperative:Will Ever the Twain Meet?”,Journal of Economic Literature,31:1290-1320
Braverman,Avishay,J.Luis Guasch,Monika Huppi,dan Lorenz Pohlmeier (1991),”promoting Rural Cooperative in Developing Papers,No. 121,April,Washington,DC:The World bank.
Handoyo (2004),”Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaaan Gerakan Koperasi”, INOVASI,2(XVI),November.
Mubyarto (2000),Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta : BPFE. Mulyo,jangkung
Soetrisno,Noer (2001),”Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut kekuatan Ekonomi rakyat”,,Instrans, jakarta Stiglitz,Joseph (2006), Making Globalization Work,New York:W.W. Norton & company
Daftar Pustaka
Bonin,John P,Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), Theorical adn Empirical Studies of Producer Cooperative:Will Ever the Twain Meet?”,Journal of Economic Literature,31:1290-1320
Braverman,Avishay,J.Luis Guasch,Monika Huppi,dan Lorenz Pohlmeier (1991),”promoting Rural Cooperative in Developing Papers,No. 121,April,Washington,DC:The World bank.
Handoyo (2004),”Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaaan Gerakan Koperasi”, INOVASI,2(XVI),November.
Mubyarto (2000),Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta : BPFE. Mulyo,jangkung
Soetrisno,Noer (2001),”Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut kekuatan Ekonomi rakyat”,,Instrans, jakarta Stiglitz,Joseph (2006), Making Globalization Work,New York:W.W. Norton & company