Oleh : Revrison Baswir, SE
Salah satu gagasan ekonomi yang dalam waktu
belakangan ini cukup banyak mengundang perhatian adalah mengenai ekonomi
kerakyatan. Di tengah-tengah krisis
ekonomi yang sedang melanda Indonesia, dan maraknya perbincangan mengenai
globalisasi dan globalisme dalam pentas pemikiran ekonomi-politik dunia,
kehadiran ekonomi kerakyatan memang terasa cukup menyegarkan. Akibatnya,
ekonomi kerakyatan cenderung hadir seolah-olah sebagai sebuah gagasan baru
dalam pentas pemikiran ekonomi-politik di Indonesia. Padahal, bila di telusuri ke belakang, akan segera diketahui bahwa perbincangan
mengenai ekonomi kerakyatan sesungguhnya telah dimulai jauh sebelum Indonesia
merdeka.
Pada mulanya adalah Bung Hatta, di tengah dampak
buruk depresi ekonomi dunia yang sedang melanda Indonesia, ia menulis sebuah artikel dengan judul ekonomi rakyat di harian
Daulat Rakyat (Hatta, 1954). Dalam artikel yang di terbitkan tanggal 20
Nopember 1933 tersebut, Bung Hatta pada intinya mengungkapkan kegusarannya
menyaksikan kemerosotan kondisi ekonomi rakyat Indonesia di bawah tindasan
pemerintah Hindia Belanda. Yang dimaksud dengan ekonomi rakyat oleh Bung Hatta ketika itu adalah ekonomi
kaum pribumi atau ekonomi penduduk asli Indonesia. Dibandingkan dengan ekonomi
kaum penjajah yang berada di lapisan atas, dan ekonomi warga timur asing yang
berada di lapisan tengah, ekonomi rakyat Indonesia ketika itu memang sangat
jauh tertinggal. Sedemikian mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan
penderitaan rakyat pada masa itu, maka tahun 1934 beliau kembali menulis sebuah
artikel dengan nada serupa. Judulnya kali ini adalah ekonomi rakyat dalam
bahaya (Hatta, 1954). Dari judulnya, dengan mudah dapat diketahui betapa
semakin mendalamnya kegusaran Bung Hatta menyaksikan kemerosotan ekonomi rakyat
Indonesia di bawah tindasan pemerintah Hindia Belanda.
Sebagaimana
terbukti kemudian, kepedulian Bung Hatta terhadap koperasi itu berlanjut jauh
setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Hal itu antara lain
disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat
tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk
memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah
struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana
dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional
adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta
rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah
air. Kesadaran seperti itulah yang menjadi titik tolak perumusan pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sebagaimana
dikemukakan dalam penjelasan pasal tersebut, “Dalam pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan
atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang
sesuai dengan itu adalah koperasi. ”Dalam kutipan penjelasan pasal 33 UUD 1945
tersebut, ungkapan ekonomi kerakyatan memang tidak ditemukan secara eksplisit.
Tetapi mengacu pada definisi kata ‘kerakyatan’ sebagaimana dikemukakan oleh
Bung Hatta, serta
penggunaan ungkapan kerakyatan pada sila ke empat Pancasila, tidak terlalu
sulit untuk disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi kerakyatan
sesungguhnya tidak lain dari demokrasi ekonomi sebagaimana dikemukakan dalam
penjelasan pasal 33 UUD 1945 itu. Artinya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya
hanyalah ungkapan lain dari demokrasi ekonomi.
Pertanyaan Bung Hatta tersebut ditanggapi oleh
Tan Malaka dengan menjelaskan diktatur proletariat yang dikemukakan oleh Marx.
Menurut Tan Malaka, diktatur ploretariat sebagaimana dikemukakan oleh teori
Marx hanya berlangsung selama periode transisi, yaitu selama berlangsungnya
pemindahan penguasaan alat-alat produksi dari tangan kaum kapitalis ke tangan
rakyat banyak. Selanjutnya, kaum pekerja yang sebelumnya telah tercerahkan di
bawah paduan perjuangan kelas, akan mengambil peran sebagai penunjuk jalan
dalam membangun keadilan hal itu akan dicapai dengan cara menyelenggarakan
produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan berbagai institusi dalam
masyarakat. Hal tersebut jelas sangat bertolak belakang dengan diktatur
personal”.
Perkenalan pertama itu
tampaknya sangat berkesan bagi Bung Hatta, sehingga mendorongnya untuk
melakukan pengkajian secara mendalam. Selain membaca buku-buku sosialisme, Bung
Hatta juga memperluas pergaulannya dengan kalangan Partai Buruh Sosial Demokrat
(SDAP) di Belanda. Bahkan pada tahun 1925, sebagai aktivis Perhimpunan
Indonesia, Bung Hatta sengaja memutuskan untuk melakukan kunjungan ke beberapa
negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia, dan Norwegia. Tujuannya adalah
untuk mempelajari gerakan koperasi dari dekat.
Selepas menyelesaikan studinya di Belanda,
komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan terus berlanjut. Salah satu
tulisan yang mengungkapkan konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi
kerakyatan adalah pamphlet yang disusunnya untuk Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) pada tahun 1932. dalam
pamphlet yang berjudul “Menuju Indonesia Merdeka” tersebut, Bung Hatta mengupas
secara panjang lebar mengenai pengertian kerakyatan, demokrasi, dan arti
penting demokrasi ekonomi sebagai salah satu pilar model demokrasi sosial yang
cocok bagi Indonesia Merdeka. Sebagaimana ditulisnya; ”Di atas sendi yang
ketiga (cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi
ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai
penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan
rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu,
segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus
berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan
perantaraan badan-badan perwakilannya”.
Dengan latar belakang seperti itu, mudah
dimengerti bila dalam kedudukan sebagai penyusun UUD 1945, Bung Hatta berusaha
sekuat tenaga untuk memasukkan ekonomi kerakyatan sebagai prinsip dasar
penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Hal itu pula, saya kira, yang
menjelaskan mengapa setelah menjabat sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta terus
mendorong pengembangan koperasi di Indonesia. Berkat komitmen tersebut, sangat
wajar bila tahun 1947, Bung Hatta secara resmi dikukuhkan oleh Sentral Organisasi Koperasi Rakyat
Indonesia (SOKRI) sebagai Bapak
Koperasi Indonesia. Konsistensi komitmen Bung Hatta terhadap ekonomi kerakyatan
itu bahkan terus berlanjut setelah beliau melepaskan jabatannya sebagai wakil
presiden. Sebagaimana terungkap dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita,
yang diterbitkan empat tahun setelah beliau meletakkan jabatannya sebagai wakil
presiden, Bung Hatta sekali lagi mempertegas pentingnya peranan ekonomi
kerakyatan atau demokrasi ekonomi dalam mewujudkan keadilan sosial di
Indonesia.
Sebagaimana ditulisnya, “Demokrasi politik saja
tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi
politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum
merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi
Indonesia ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang
menentukan nasib manusia”.
Yang perlu digaris bawahi adalah, dengan
dinyatakannya ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai prinsip dasar
sistem perekonomian Indonesia, berarti Bung Hatta dan para penyusun UUD 1945
telah secara resmi menggeser perbincangan mengenai ekonomi rakyat menjadi
ekonomi kerakyatan. Tujuan jangka pendek kebijakan itu adalah untuk
menghapuskan penggolong-golongan status sosial-ekonomi masyarakat, baik
berdasarkan ras maupun berdasarkan tingkat penguasaan faktor-faktor produksi.
Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk mengubah struktur ekonomi
kolonial serta untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan
jalannya roda perekonomian.
Secara
politik, penjajahan harus segera dihapuskan dari muka bumi. Namun secara ekonomi, transformasi ekonomi harus dilakukan
secara bertahap sesuai dengan perangkat hukum yang tersedia. Adalah tugas
pemerintah Indonesia untuk secara berangsur-angsur memperbaharui perangkat
hukum yang mendasari penyelenggaraan sistem perekonomian nasional, yaitu untuk
mewujudkan sistem ekonomi kerakyatan.Bahkan, di penghujung 1980-an, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan sempat dipuji oleh Bank Dunia. Menurut Bank Dunia, keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi kemiskinan patut menjadi contoh bagi negara-negara yang sedang berkembang lainnya. Tahun 1997, sebelum perekonomian Indonesia ambruk dilanda oleh krisis moneter, pendapatan perkapita penduduk Indonesia sudah berhasil ditingkatkan menjadi USD $1020.
Salah seorang pengritik kebijakan ekonomi neoliberal yang cukup terkemuka sepanjang tahun delapan puluhan adalah Prof. Dr. Mubyarto. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi di Universtas Gadjah Mada pada tahun 1979, Mubyarto dengan tajam mengkritik kebijakan ekonomi Orde Baru yang dipandangnya sudah sangat jauh melenceng dari amanat konstitusi. Sembari menggaris bawahi pentingnya pendekatan trans disipliner dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia, Mubyarto kembali memunculkan semangat ekonomi kerakyatan dengan label Ekonomi Pancasila. Namun demikian, sebagaimana Sarbini, kritik tajam Mubyarto hilang begitu saja seperti ditelan ombak. Bahkan, Mubyarto sendiri turut ditelan “ombak” Kabinet Pembangunan VI.
Konsekuensinya, perkoncoan para penguasan-penguasan dalam pentas ekonomi Orde Baru cenderung tampak semakin kasat mata. Bahkan, terhitung sejak pertengahan 1980-an, keterlibatan kerabat Cendana dalam memperebutkan kue bisnis di Indonesia mulai mencuat ke permukaan menjadi bahan perbincangan umum. Separuh terakhir era ekonomi Orde Baru memang ditandai oleh maraknya perbincangan perkembangan kapitalisme perkoncoan (crony capitalisme) di Indonesia.
Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 27 Undang - Undang Dasar 1945 yang menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. Hal ini antara lain dipertegas oleh pasal 34 undang-undang dasar 1945 yang menyatakan, “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.
Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat harus di upayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Denga demkian, walaupun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat di lakukan para pemodal asing, tapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat.
Unsur ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang ketiga tersebut saya kira perlu digaris bawahi. Sebab unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itulah yang mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi nasional. Perlu diketahui, yang dimaksud dengan modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelektual capital) dan modal institusional (institutional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur-unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengaku dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka.
Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersilkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Sementara itu, sehubungan dengan modal institusional, saya kira tidak ada keraguan sedikitpun bahwa negara memang wajib melindungi kemerdekan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan undang-undang”.
Sejalan dengan itu, sebagaimana ditegaskan oleh pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945, negara memainkan peran yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Peran negara tidak hanya terbatas sebagai pengatur jalannya roda prekonomian. Melalui pendirian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu untuk menyelenggarakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, negara dapat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan ekonomi tersebut. Tujuannya adalah untuk menjamin agar kemakmuran masyarakat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang seorang, dan agar tampuk produksi tdak jatuh ke tangan orang seorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
Mekanisme dalam alokasi sistem ekonomi kerakyatan, kecuali untuk cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetap didasarkan atas mekaniame pasar. Tetapi mekanisme pasar bukan satu-satunya. Selain melalui mekanisme pasar, alokasi juga didorong untuk diselenggarakan melalui mekanisme usaha bersama (koperasi). Mekanisme pasar dan koperasi dapat di ibaratkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang yang sama dalam mekanisme alokasi sistem ekonomi kerakyatan.
Dalam rangka itu, sejalan dengan amanat penjelasan pasal 33 UUD 1945, penyelenggaraan pasar dan koperasi dalam sistem ekonomi kerakyatan harus dilakukan dengan terus menerus melakukan penataan kelembagaan, yaitu dengan cara memeratakan penguasaan modal atau faktor-faktor produksi kepeda segenap lapisan anggota masyarakat. Proses sistematis untuk mendemokrasikan penguasaan faktor-faktor produksi atau peningkatan kedaulatan ekonom rakyat inilah yang menjadi substansi sistem ekonomi kerakyatan.
Sehubungan dengan itu, bapak koperasi Indonesia Bung Hatta, berulang kali menegaskan bahwa pada koperasi memang terdapat perbedaan medasar yang membedakannya secara diametral dari bentuk-bentuk perusahaan yang lain. Diantaranya adalah pada dihilangkannya pemilahan buruh-majikan, yaitu diikut sertakannya buruh sebagai pemilik perusahaan atau anggota koperasi. Sebagamana ditegaskan oleh Bung Hatta, “pada koperasi tidak ada majikan dan tidak ada buruh, semuanya pekerja yang bekerja sama untuk menyelenggarakan keperluan bersama”.
Penegasan seperti itu diuraikan lebih lanjut oleh Bung Hatta dengan mengemukakan beberapa contoh, “misalnya koperasi menggaji buruh untuk menyapu ruangan bekerja, supaya anggota-anggota yang bekerja jangan terganggu kesehatannya oleh debu. Umpamanya pula koperasi menggaji instruktur untuk mengajar dan memberi petunjuk tentang cara mengerjakan administrasi dan pembukuan kepada anggota yang diserahi dengan pekerjaan itu. Sungguh pun demkian, juga terhadapmereka yang memburuh itu, yang mengerjakan pekerjaan kecil-kecil, koperasi harus membuka kesempatan untuk menjadi anggota. Bukan corak pekerjaan yang dikerjakan yang menjadi ukuran untuk menjadi anggota, melainkan kemauan dan rasa bersekutu dan cita-cita koperasi yang dikandung dalam dada dan kepala masing-masng” (Ibid., hal. 215).
Berdasarkan ilustrasi Bung Hatta itu, kiranya jelas, karakter utama ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi pada dasarnya terletak pada dihilangkannya watak individualistis dan kapitalistis dari wajah perekonomian Indonesia. Secara mikro hal itu antara lain berarti diikutsertakannya pelanggan dan buruh sebagai anggota koperasi atau pemilik perusahaan. Sedangkan secara makro hal itu berarti ditegakkannya kedaulatan ekonomi rakyat dan diletakkannya kemakmuran masyarakat diatas kemakmuran orang seorang.
Pendek kata, dengan diangkatnya kerakyatan atau demokrasi sebagai prinsip dasar sistem perekonomian Indonesia, prinsip itu dengan sendirinya tidak hanya memiliki kedudukan penting dalam menentukan corak perekonomian yang harus diselenggarakan oleh negara pada tingkat makro. Ia juga memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menentukan corak perusahaan yang harus dikembangkan pada tingkat mikro. Penegakan kedaulatan ekonomi rakyat dan pengutamaan kemakmuran masyarakat diatas kemakmuran orang seorang hanya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip tersebut.
Dalam pandangan ekonomi kerakyatan, demokrasi
politik saja tidak mencukupi bagi rakyat banyak untuk mengendalikan jalannya
roda perekonomian. Sebab, sebagaimana berbagai bidang kehidupan lainnya,
persaingan politk sangat tergantung pada modal. Dengan demikian, walaupun suatu
masyarakat telah memiliki kelembagaan politik yang secara prosedural tergolong
demokratis, tetapi faktor modal akan tetap memainkan peranan sangat penting
dalam mempengaruhi plihan-pilihan politik masyarakat.
Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Gramsci, sesungguhnya
para pemodal besar tidak hanya cenderung memanfaatkan negara sebagai sarana
untuk membela kepentingan kelas mereka. Melalui kekuatan modal yang mereka
miliki, demokrasi pun cenderung mereka pakai sekedar sebagai sarana untuk
melestarikan posisi dominan mereka ditengah-tengah masyarakat.
Hal itu mereka lakukan baik dengan memberi dukungan modal material terhadap kandidat atau partai politik yang memperjuangkan kepentingan kelas mereka, menghambat proses penguatan modal institusional pada kelompok masyarakat yang mereka eksploitasi, maupun dengan cara menguasai dan memanipulasi informasi serta dengan cara mengkomersilkan penyelenggaraan pendidikan.
Hal itu mereka lakukan baik dengan memberi dukungan modal material terhadap kandidat atau partai politik yang memperjuangkan kepentingan kelas mereka, menghambat proses penguatan modal institusional pada kelompok masyarakat yang mereka eksploitasi, maupun dengan cara menguasai dan memanipulasi informasi serta dengan cara mengkomersilkan penyelenggaraan pendidikan.
Dengan latar belakang seperti itu, sebagaimana
halnya sistem ekonomi kapitalis neoliberal, ekonomi kerakyatan bukanlah sebuah
paham dan sistem ekonomi an sich. Selain merupakan sebuah paham dan sistem
ekonomi, ekonomi kerakyatan adalah gerakan politik yang secara tegas memihak
pada pemberdayaan kelompok masyarakat yang terpinggirkan dalam sistem ekonomi
kapitalis neoliberal, khususnya dari dominasi para pemodal besar yang memang
memiliki watak untuk secara terus meminggirkan mereka.
Tujuan utama dari paham ekonomi kerakyatan,
berbeda dengan sistem ekonomi sosialis otoriter yang pernah dijalankan di Uni
Soviet, bukanlah untuk membasmi para pemodal besar. Tujuan utama ekonomi
kerakyatan adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi dan politik yang demokratis
dan berkeadilan dalam arti yang sebenar-benarnya. Dengan meningkatnya
penguasaan modal tau faktor-faktor produksi oleh segenap lapisan anggota
masyarakat, dan dengan meningkatnya kemampuan mereka dalam mengendalikan
jalanya roda perekonomian, maka penyalahgunaan demokrasi sebagai sarana untuk
memperoleh legitimasi oleh para pemodal besar diharapkan akan dapat dihindari.
Dari uraian di atas tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam koperasi, harus ada suatu keterkaitan terpadu antara kegiatan usaha anggota dan kegiatan usaha manajemen dan keterkaitan kegiatan usaha tersebut muncul sebagai sebuah “etentitas ekonomi besar”.
Sumber : http://splashurl.com/n5zxm7p
Daftar Pustaka
Bonin,John P,Derek C. Jones dan Louis Putterman (1993), Theorical adn Empirical Studies of Producer Cooperative:Will Ever the Twain Meet?”,Journal of Economic Literature,31:1290-1320
Braverman,Avishay,J.Luis Guasch,Monika Huppi,dan Lorenz Pohlmeier (1991),”promoting Rural Cooperative in Developing Papers,No. 121,April,Washington,DC:The World bank.
Handoyo (2004),”Revitalisasi Ekonomi Kerakyatan Melalui Pemberdayaaan Gerakan Koperasi”, INOVASI,2(XVI),November.
Mubyarto (2000),Membangun Sistem Ekonomi, Yogyakarta : BPFE. Mulyo,jangkung
Soetrisno,Noer (2001),”Rekonstruksi Pemahaman Koperasi, Merajut kekuatan Ekonomi rakyat”,,Instrans, jakarta Stiglitz,Joseph (2006), Making Globalization Work,New York:W.W. Norton & company